Powered By Blogger

Thursday, October 31, 2013

Makalah periwayatan hadits masa Khulafa'urrasyidin


                                                                         BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat hukum, maka uji kualifikasi histories untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya dilakukanHadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat hukum, maka uji kualifikasi histories untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya dilakukan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana periwayatan hadits masa Khulafaur Rasyidin ?
2.      Bagaimana sikap mereka dalam meriwayatkan hadits ?
3.      Bagaimana cara sahabat  meriwayatkan hadits ?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Periwayatan Hadits Masa Khulafa’ Arrasyidin ( 11 H – 40 H )
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Nabi SAW. berpesan kepada para sahabat dan Kepada para umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah).yang harus dipegangi dalam aspek kehidupan umat.[1]
Sebagaimana sabdanya :
( مالك واه ر ) نبيه وسنة الله كتاب بهما تمسكتم ما تضلوا لن امرين  فيكم  تركت
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadits).” (HR. Malik)
Dan sabdanya pula :
 ( البخاري رواه ) آية ولو عني بلغوا     
“sampaikanlah dariku walau satu ayat”
Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya, kecintaan mereka kepada rasulullah dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan nya. Kemudian setelah Nabi wafat, kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq, kemudian disusul oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat kalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khulafa’ Al- Rasyidin. Dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.
Periode Khulafa’ Al- Rasyidin ini dikenal dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan hadits (‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah).[2] Pada masa ini ditandai dengan sikap kehati-hatian para sahabat dengan berusaha untuk membatasi segala periwayatan yang berkenaan dengan hadits.


1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H-13 H)
Khalifah Abu Bakar (w.13 H) mengkonfirmasikan keakuratan suatu hadits dengan menggunakan metode syahadah (kesaksian). Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w. 748 H) Abu Bakar merupakan sahabat pertama yang menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan suatu hadits. Beliau mengharuskan adanya saksi jika ada orang yang meriwayatkan suatu hadits. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan pada pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek yang menghadap khalifah Abu Bakar, meminta hak waris hak waris harta yang ditinggalkan cucunya. AbuBakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi SAW. yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bahmenyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi SAW. menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah (w. 47 H) memebarikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasakan hadits Nabiyang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.[3]
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadits meskipun dia seorang sahabat yang lama bergaul dengan Nabi. Bahkan sangat akrab dengan Nabi mulai semenjak masa sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Karna sifatnya yang sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits.
b.      Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah karna ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemimpin umat Islam.
c.       Para sahabat sibuk dalam penghimpunan al-Qur’an.
d.      Kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya.
e.       Jarak waktu kewafatannya sangat dekat dengan kewafatan Nabi hanya sekitar tiga tahun.[4]
2.      Umar bin al-Khattab (13 H-29 H)
Seperti Abu Bakar, Umar pun sangat berhati-hati dalam masalah periwayatan hadits. Ketika ia , dia menjadi khalifah, dia mengintruksikan kepada para sahabat agar berhati-hati dalam melakukan periwayatan hadits. Demikian juga, ketika dia mengirim utusan ke Irak, dia mewasiatkan supaya utusan itu mengajarkan dan menyebarkan al-Qur’an, dan menahan diri untuk tidak memperbanyak riwayat.
Dijelaskan bahwa pernah seorang bertanya kepada Abu Hurairah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya saya memperbanyak riwayat, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya”.
Bukti lain bahwa Umar sangat hati-hati dalam periwayatan hadits terlihat, misalnya ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar baru bersedia menerima setelah para sahabat yang lain (diantaranya Abu Dzar) memperkuat bahwa ia telah pula mendengar hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay, “Demi Allah, sesungguhnya saya tidak menuduhmu telah berdusta, saya melakukan demikian karna saya ingin berhati-hati dalam melakukan periwayatan terhadap hadits Nabi.”
Dari keterangan diatas tampak adanya persamaan antara Umar dan Abu bakar dalam meneliti kebenaran suatu riwayat, yakni mengharuskan adanya saksi. Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat dalam memperbanyak periwayatan hadits sesungguhnya tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwyatkan hadits, tetapi larangan itu dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian masyarakat tidak terganggu terhadap al-Qur’an.
Pernyatan ini didasarkan kepada kenyataan sejarah bahwa Umar pernah merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Tetapi, tak lama kemudian beliau mengurungkan rencana tersebut. Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa Umar bin Khattab hendak menulis hadits, lalu beliau meminta pertimbangan kepada para sahabat.  Para sahabat mengusulkan untuk tetap menulisnya. Tetapi setelah satu bulan, Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat Istikharah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu dan bertekad akan memalingkan perhatiannya kepada al-Qur’an.
Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa Umar sesungguhnya berada diantara dua keinginan, disatu sisi, dia ingin mengembangkan periwayatan hadits, sementara disis lain, dia ingin hadits tetap terpelihara dari kebohongan dan manipulasi. Bagi Umar, kedua keinginan itu kelihatannya sulit terwujud dalam waktu bersamaan sehingga dia menetapkan pilihannya untuk memelihara kemurnian hadits dengan memperketet kegiatan periwayatan.[5]
3.      Utsman bin ‘Affan (25 H-35 H)
Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Utsman ibn Affan juga sangat teliti dan hati-hati dalam menerima hadits. Ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya, agar para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar.[6]
Usman, memang tidak banyak meriwayatkan hadits, Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari Utsman sekitar empat puluh hadits saja, itu pun banyak matan hadits yang terulang, karna perbedaan sanad. Dengan demikian, jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Utsman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab.[7]
Namun, pada zaman Utsman ini, kegiatan umat islam dalam periwayatan hadits lebih banyak jika dibandingkan pada zaman Umar bin Khattab. Hal ini terjadi karena secara pribadi, Utsman tidak sekeras Umar, juga karna wilayah islam telah meluas sehingga para sahabat banyak yang berpencar keberbagai wilayah-wilayah diluar jazirah Arab, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan untuk mengendalikan kegiatan periwayatan hadits secara ketat.[8]
4.      Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H)
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulu nya dalam periwayatan hadits. Ali baru bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikan itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya terhadap periwayat yang benar-benar dipercayainya lah, Ali tidak meminta periwayat hadits untuk bersumpah, misalnya ketika beliau menerima riwayat Abu Bakr al-Shiddiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah merupakan syarat mutlak bagi keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggaptidak perlu apabila orang yang yang menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak mungkin keliru.[9]
Ali bin abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Hadits yang diriwayatkan, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan isinya berkisar tentang ; Pertama, Hukuman Denda; Kedua, pembebasan orang islam yang ditawan oleh orang kafir; Ketiga, larangan melakukan hukum qishas terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.[10]
Dilihat dari kebijaksanaan dan kehati-hatian dalan  kegiatan periwayat hadits, masa khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada masa Ali telah berbeda dengan situasi sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan politik dikalangan umat islam semakin meluas, peperangan antar kelompok pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah sering terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits, yakni timbulnya pemalsuan-pemalsuan hadits.[11]
Adapun perbandingan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh masing-masing khalifah adalah sebaga berikut:
a.       Abu Bakar al-Shiddiq meriwayatkan 142 hadits.
b.      Umar bin Khattab meriwayatkan 537 hadits.
c.       Utsman bin Affan meriwayatkan 146 hadits.
d.      Ali bin Abi Thalib meriwayatkan 586 hadits.
 Dengan demikian, keseluruhan hadits yang diriwayatkan oleh Khulafaur Rasyidin berjumlah 1141 hadits. Jika dibandingkan dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berjumlah 5374 hadits, maka hadits riwayat Khulafaur Rasyidin, terlihat sangat sedikit, yaitu sebesar 27%.[12]


B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadits
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya tidak berarti hadits Rasul tidak diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti permasalahan Ibadah dan Muamalah. Oleh karna itu, ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadits dari rasul SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
1.      Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang di wurudkan Nabi SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar yang di sabdakan Rasulullah. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasulullah bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj al-Khatib, sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan Lafzhi, bukan dengan Ma’nawi.[13] Sebagian dari mereka melarang secara ketat meriwayatkan hadits dengan maknanya saja,hingga satu kata atau satu huruf pun tak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan katayang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata: “Barang siapa yang mendengar hadits dari Rasul, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, maka orang itu selamat.”[14]
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan lafzhi adalah Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul. SAW, seperti yang yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.[15]

2.      Periwayatan Ma’nawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karna tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah, boleh meriwayatkan hadits secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi isinya atau maknanya tetap sama atau terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah. Tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadits ada istilah-istilah tertentu yang di gunakannya untuk memperkuat panukilannya, seperti dengan kata: qala rasulullahi hakadza (rasulullah telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala rasulullah qariban min hadza.[16]
Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadits tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan Sunnah Nabi SAW.[17]






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapatlah kami simpulkan bahwa Periwayatan hadits masa Khulafaur Rasyidin tersebar secara terbatas dan penulisan hadits pun masih belum dilakukan secara resmi. Dan bahkan pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.
Pada masa ini para khalifah menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits, Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan Sunnah Nabi SAW.
Adapun dalam periwayatan, para sahabat mempunyai dua jalan, yaitu:
1.   Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi, yang mereka hafal benar lafaz dari Nabi. SAW.
2.   Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
B.     Saran
Demikianlah makalah Ulumul Hadits yang membahas tentang “Periwayatan Hadits Masa Khalifah” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.   





[1] Barmawie Umarie. Status hadits sebagai Dasar Tasjri. (Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965) . hlm 13.
[2] M. Hasby As-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang  1987), hlm. 17-18
[3] Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) hlm. 85
[4] Zikri Darussamin. Ilmu Hadits (Pekanbaru: Suska Press. 2010) hlm.44
[5] Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: GP Press). hlm. 64-66
[6] Ajjaj al-Khattib, Al-sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H) hlm. 97
[7] M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, hlm. 44
[8] Noor Sulaiman. Op.cit, hlm. 66
[9]Ibid, hlm. 67
[10] Zikri Darussamin. Op.cit, hlm. 48
[11] Noor Sulaiman. Op.cit, hlm. 67
[12] Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, hlm. 263
[13] Munzier Suparta. Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Press. 2008).  hlm. 83
[14] Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Al-Rawi wa Al-Wa’i. (Beirut: Dar Al-Fikr 1984).  hlm. 127
[15] Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 83-84
[16] Ajjaj al-Khattib. Op.cit. hlm. 130
[17] Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 84-85

No comments:

Post a Comment